Sabtu, 12 Maret 2016

Artikel Pendidikan

GURU PADA ERA TEKNOLOGI INFORMASI DAN ERA GLOBALISASI
Oleh: AHMAD RIFAI, S.Pd., M.Pd.

Ketika para antropolog mengadakan rekonstruksi tentang kehidupan homo erectus sebagai cikal bakal manusia pertama yang lahir pada sekitar 1,7 juta tahun yang lalu, baik yang ditemukan fosilnya di Asia, Eropa, Australia maupun di Afrika, dapat dipastikan bahwa kehidupan pertama mereka adalah sebagai pemburu dan pengumpul bahan makanan (Leakey, 2003:46-83). Sudah barang tentu kehidupan mereka juga telah mengenal system social yang disebut sebagai awal timbulnya suku. Dalam system social seperti itu, maka kepala kelompok atau kepala suku akan berperan sebagai tokoh panutan atau pemimpin pendapat (opinion leader). Peran itu sudah barang tentu dapat dipandsang sebagai peran guru atau pendidik bagi masyarakat dalam era pertama kehidupan manusia purba.
Setidaknya kini peradapan manusia telah melalui empat era utama, yakni (1) era food gathering (pengumpulan bahan pangan), (2) era green revolution (revolusi hijau), (3) era industrial revolution (revolusi industry), dan (4) era information technology (teknologi informasi). Memasuki abad XXI, atau yang kita kenal dengan era millenium ketiga, kita telah berada pada satu era yang disebut era teknologi informasi. Keempat era tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda, terutama kaitannya dengan sosok dan peran guru dalam setiap era tersebut.
Dalam era teknologi informasi, dunia dipandang tidak lagi berbatas (the borderless world). Dengan demikian sumber informasi tidak lagi didominasi oleh para pemuka masyarakat, pemimpin pendapat (opinion leader), para cerdik pandai, para pendidik atau guru yang ada di daerah tertentu, melainkan dapat berasal dari berbagai sumber informasi yang tidak terbatas, tanpa dibatasi oleh tempat dan waktu. Informasi yang terdapat dalam belahan dunia manapun kini dapat diakses lengkap dengan gambarnya oleh siapapun dan dari manapun dengan menggunakan perangkat canggih yang bernama telepon, handphone, televisi, dan internet.
Terkait dengan isu globalisasi dan persaingan bebas itulah maka kini di Indonesia telah tumbuh sekolah swasta internasional seperti Scope Education, Global School, Gandhi Memorial School, British International School dan sebagainya. Arus globalisasi telah membuka mata tentang perlunya pendidikan yang bermutu, agar lulusannya dapat bersaing di pasar internasional. Itulah sebabnya banyak orang tua yang tidak merasa berkeberatan untuk membayar biaya pendidikan yang amat mahal, jika mutu pendidikannya memang benar-benar berkualitas.
Itulah sebabnya, sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri pun mulai memikirkan ulang tentang perlunya berorientasi internasional. Sekolah Indonesia yang semula hanya untuk anak Indonesia di luar negeri, kini mulai berbenah diri untuk kemungkinan menjadi sekolah internasional, seperti Sekolah Indonesia Myanmar (SIM), Sekolah Indonesia Singapura (SIS), Sekolah Indonesia Kualalumpur (SIK). Dengan demikian, sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri jangan hanya terpaku dengan paradigma lama menerima anak Indonesia, tetapi harus berani bersaing untuk menerima siswa asing. Di Indonesia sendiri ada model sekolah akselerasi, konsep Sekolah Standar Nasional (SSN), Sekolah Standar Internasional (SSI), dan Sekolah Global (Global School) dengan medium dwibahasa.
Sejalan dengan perkembangan tersebut, beberapa daerah provinsi tertentu telah mulai tertarik untuk mengembangkan apa yang kemudian dikenal dengan “Sekolah Global” atau ada juga yang menyebutnya dengan :Sekolah Berwawasan Internasional”. Provinsi Sumatera Selatan, sebagai misal sudah ada IGM School, SIS Palembang, Global School dan lain sebagainya.
Kelas disekolah tidak lagi sebagai kelas konvensional yang terdiri atas bangku-bangku dan kursi-kursi yang disusun berderet-deret. Kelas di sekolah seharusnya sudah dilengkapi dengan komputer, untuk mengetahui kehadiran siswapun seharusnya sudah menggunakan computer guru. Ketidakhadiran siswa dikomunikasikan dengan orang tua melalui telepon, handphone dan e-mail. Bahkan untuk mengecek tugas dan pekerjaan yang harus diselesaikan oleh siswa cukup dicek melalui komputer.
Berdasarkan gambaran tersebut, tampak jelas bahwa guru tidak lagi harus berceramah banyak dalam memberikan pelajaran kepada siswa, karena bahan ajar telah ada dalam bentuk CD ROM yang dapat dibuka melalui computer atau laptop. Dalam hal ini, guru lebih sebagai fasilitator dan dinamisator. Untuk itu, para guru harus menguasai satu model pembelajaran dengan menggunakan perangkat komputer. Penguasaan kemampuan dalam bidang teknologi informasi menjadi satu keniscayaan bagi guru.
Pertanyaan yang timbul adalah apakah dengan menggunakan computer tersebut berarti peran guru tidak diperlukan lagi? Peran guru tetap diperlukan dan keberadaannya tidak dapat digantikan oleh alat apapun juga. Namun, peran sebagai satu-satunya sumber ilmu tidak lagi terjadi. Sumber ilmu dapat berasal dari manapun juga, termasuk dari dunia maya melalui internet, website, dan sebagainya. Seperti yang sekarang ini guru mengikuti kegiatan Uji Kopetensi Guru (UKG) secara online.
Selaras dengan perkembangan yang terjadi sebagai akibat dari era globalisasi maka penyelenggaraan pendidikan sekolah pada umumnya dan kemampuan guru pada khususnya juga harus mengalami perkembangan dan peningkatan, misalnya pembelajaran menggunakan program e-learning, Edmodo, Cuipper.



1.JPG




































Tidak ada komentar:

Posting Komentar