GURU PADA ERA TEKNOLOGI INFORMASI DAN ERA
GLOBALISASI
Oleh: AHMAD RIFAI, S.Pd., M.Pd.
Ketika para antropolog mengadakan rekonstruksi tentang kehidupan homo erectus sebagai cikal bakal manusia
pertama yang lahir pada sekitar 1,7 juta tahun yang lalu, baik yang ditemukan
fosilnya di Asia, Eropa, Australia maupun di Afrika, dapat dipastikan bahwa
kehidupan pertama mereka adalah sebagai pemburu dan pengumpul bahan makanan
(Leakey, 2003:46-83). Sudah barang tentu kehidupan mereka juga telah mengenal
system social yang disebut sebagai awal timbulnya suku. Dalam system social
seperti itu, maka kepala kelompok atau kepala suku akan berperan sebagai tokoh
panutan atau pemimpin pendapat (opinion
leader). Peran itu sudah barang tentu dapat dipandsang sebagai peran guru
atau pendidik bagi masyarakat dalam era pertama kehidupan manusia purba.
Setidaknya kini peradapan manusia telah melalui empat era utama, yakni
(1) era food gathering (pengumpulan
bahan pangan), (2) era green revolution
(revolusi hijau), (3) era industrial
revolution (revolusi industry), dan (4) era
information technology (teknologi informasi). Memasuki abad XXI, atau yang
kita kenal dengan era millenium ketiga, kita telah berada pada satu era yang
disebut era teknologi informasi. Keempat era tersebut memiliki karakteristik
yang berbeda-beda, terutama kaitannya dengan sosok dan peran guru dalam setiap
era tersebut.
Dalam era teknologi informasi, dunia dipandang tidak lagi berbatas (the borderless world). Dengan demikian
sumber informasi tidak lagi didominasi oleh para pemuka masyarakat, pemimpin
pendapat (opinion leader), para
cerdik pandai, para pendidik atau guru yang ada di daerah tertentu, melainkan
dapat berasal dari berbagai sumber informasi yang tidak terbatas, tanpa dibatasi
oleh tempat dan waktu. Informasi yang terdapat dalam belahan dunia manapun kini
dapat diakses lengkap dengan gambarnya oleh siapapun dan dari manapun dengan
menggunakan perangkat canggih yang bernama telepon, handphone, televisi, dan
internet.
Terkait dengan isu globalisasi dan persaingan bebas itulah maka kini di
Indonesia telah tumbuh sekolah swasta internasional seperti Scope Education, Global School, Gandhi Memorial School, British
International School dan sebagainya. Arus globalisasi telah membuka mata
tentang perlunya pendidikan yang bermutu, agar lulusannya dapat bersaing di
pasar internasional. Itulah sebabnya banyak orang tua yang tidak merasa
berkeberatan untuk membayar biaya pendidikan yang amat mahal, jika mutu
pendidikannya memang benar-benar berkualitas.
Itulah sebabnya, sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri pun mulai
memikirkan ulang tentang perlunya berorientasi internasional. Sekolah Indonesia
yang semula hanya untuk anak Indonesia di luar negeri, kini mulai berbenah diri
untuk kemungkinan menjadi sekolah internasional, seperti Sekolah Indonesia
Myanmar (SIM), Sekolah Indonesia Singapura (SIS), Sekolah Indonesia Kualalumpur
(SIK). Dengan demikian, sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri jangan hanya
terpaku dengan paradigma lama menerima anak Indonesia, tetapi harus berani
bersaing untuk menerima siswa asing. Di Indonesia sendiri ada model sekolah
akselerasi, konsep Sekolah Standar Nasional (SSN), Sekolah Standar
Internasional (SSI), dan Sekolah Global (Global
School) dengan medium dwibahasa.
Sejalan dengan perkembangan tersebut, beberapa daerah provinsi tertentu
telah mulai tertarik untuk mengembangkan apa yang kemudian dikenal dengan
“Sekolah Global” atau ada juga yang menyebutnya dengan :Sekolah Berwawasan
Internasional”. Provinsi Sumatera Selatan, sebagai misal sudah ada IGM School, SIS Palembang, Global School dan lain sebagainya.
Kelas disekolah tidak lagi sebagai kelas konvensional yang terdiri atas
bangku-bangku dan kursi-kursi yang disusun berderet-deret. Kelas di sekolah seharusnya
sudah dilengkapi dengan komputer, untuk mengetahui kehadiran siswapun
seharusnya sudah menggunakan computer guru. Ketidakhadiran siswa
dikomunikasikan dengan orang tua melalui telepon, handphone dan e-mail. Bahkan
untuk mengecek tugas dan pekerjaan yang harus diselesaikan oleh siswa cukup
dicek melalui komputer.
Berdasarkan gambaran tersebut, tampak jelas bahwa guru tidak lagi harus
berceramah banyak dalam memberikan pelajaran kepada siswa, karena bahan ajar
telah ada dalam bentuk CD ROM yang dapat dibuka melalui computer atau laptop.
Dalam hal ini, guru lebih sebagai fasilitator dan dinamisator. Untuk itu, para
guru harus menguasai satu model pembelajaran dengan menggunakan perangkat
komputer. Penguasaan kemampuan dalam bidang teknologi informasi menjadi satu
keniscayaan bagi guru.
Pertanyaan yang timbul adalah apakah dengan menggunakan computer tersebut
berarti peran guru tidak diperlukan lagi? Peran guru tetap diperlukan dan
keberadaannya tidak dapat digantikan oleh alat apapun juga. Namun, peran
sebagai satu-satunya sumber ilmu tidak lagi terjadi. Sumber ilmu dapat berasal
dari manapun juga, termasuk dari dunia maya melalui internet, website, dan sebagainya. Seperti yang
sekarang ini guru mengikuti kegiatan Uji Kopetensi Guru (UKG) secara online.
Selaras dengan perkembangan yang terjadi sebagai akibat dari era
globalisasi maka penyelenggaraan pendidikan sekolah pada umumnya dan kemampuan
guru pada khususnya juga harus mengalami perkembangan dan peningkatan, misalnya
pembelajaran menggunakan program e-learning,
Edmodo, Cuipper.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar